Penulis: Afidatul Asmar, Dosen IAIN Parepare OPINI --- Berbagai konflik, baik bersifat langsung maupun tidak langsung yang menga...
Penulis: Afidatul Asmar, Dosen IAIN Parepare
OPINI --- Berbagai
konflik, baik bersifat langsung maupun tidak langsung yang mengatasnamakan
ideologi tertentu digambarkan dalam video “Penolakan Jenazah Corona”. Bahkan,
konflik akibat gesekan ketidakfahaman dan ketidaksamaan pikiran terjadi dan
berujung pada kontak fisik yang mengatasnamakan sebuah ideologi tertentu dengan
pertimbangan logisnya maupun tentang simpatisan penganut ideologi. Akhirnya,
mereka juga harus terseret dalam arus konflik dan hanya menjadikan ideologi
sebagai tameng kepentingan demi keselamatan semata.
Sudah tidak terelakkan lagi bahwa media memang nyata memiliki
dampak atau konsekuensi yang besar terhadap individu, institusi, kelompok sosial,
dan
budaya (McQuail, 1979:20). Secara langsung ataupun
tidak, bisa dilihat berbagai pergeseran perilaku, kebiasaan,
bahkan sifat dari seseorang yang secara linear juga berdampak kepada orang-orang di sekitarnya.
Dari yang mulanya hanya memberikan fungsi
to inform kepada khalayak, kini media sudah dianggap sebagai
trend setter dan efeknya sudah menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Media merupakan salah satu
sarana untuk pengembangan kebudayaan, bukan hanya budaya dalam
pengertian seni dan simbol tetapi juga dalam pengertian pengembangan tatacara, mode,
gaya hidup
dan norma-norma
(McQuail,
2005:1) Melalui pernyataan tersebut, bias dipahami betapa besarnya efek yang ditimbulkan dari media terhadap kehidupan sosial
masyarakat.
Dewasa ini, media diketahui sangat intens dalam menyoroti kasus menyebarnya Virus Corona (n-Cov) yang
terjadi di Wuhan China, virus yang menyerang pernapasan itu mengakibatkan
masyarakat di sejumlah negara mengalami kematian dan perawatan khusus, pada
kasus Indonesia sendiri mengalami keterbatasan akses informasi jadi penyebabnya.
Mayoritas
warga, hanya tahu kabar bahwa ada virus dari China yang menular. Kementerian Kesehatan Indonesia menjelaskan awal pertama
kali virus corona ditemukan. “Awalnya tenaga medis dokter menemukannya pada
penderita pneumonia. Masyarakat berharap
pemerintah bisa mencegah itu masuk ke Indonesia dan memberikan pengobatan gratis jika pun wabah melanda. Mengetahui bahwa virus itu
belum ada obatnya. Tentu saya punya ketakutan karena saya enggak tahu
bagaimana gejala dan bahkan belum ada obatnya" (CNN Indonesia, 2020). Berdasarkan keterangan Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO), periode inkubasi patogen Corona berkisar antara 2-10
hari. Setelah itu, muncul gejala-gejala seperti demam tinggi, batuk, sesak napas, dan gangguan pernapasan akut.
Virus Corona yang disebarkan pertama kali di Wuhan Cina ini berdasarkan
informasi, memiliki reaksi penyebaran yang tidak mengenal golongan apapun,
diantaranya terkait video penolakan jenazah yang pertama kali kita lihat di
pemberitaan, namun juga dapat diakses melalui youtube berdurasi 5 menit.
Indonesia sendiri mengalami kegagapan terkait dengan virus corona, utamanya
pemahaman di dua daerah yang menolak pemakaman jenazah terkait virus corona.
Video pertama datang dari Gowa, Sulawesi Selatan. Sebagian masyarakat yang
menutup mobil ambulance yang ingin
mengantarkan jenazah kerumah duka, sehingga terhalang sejumlah warga yang
menutup akses jalan dengan beberapa kayu dan alat bangunan lain sekiranya tidak
bisa dilalui oleh mobil ambulance.
Selanjutnya video yang kurang lebih sama, mampu kita temui di Jawa Tengah,
meskipun jumlah masyarakat dalam video tidak sebanyak yang kita dapatkan di Gowa,
Sulawesi Selatan. Akan tetapi, pada dasarnya masyarakat menolak jenazah terkait
virus corona. Selanjtnya ditemukan respon pemimpin daerah dalam menyikapi
tindakan masyarakatnya terkait memberi pemahaman dan pengawalan terkait
masyarakat yang terindikasi virus corona. Tidak terkecuali bagi yang telah
meninggal, sekiranya mampu dikebumikan dengan baik. Serta penjelasan salah satu
dokter di rumah sakit, juga sama menghimbau masyarakat agar menerima jenazah
terkait virus corona (Youtube, 2020).
Komodifikasi Media, Ideologi, Hingga
Semiotika
Komodifikasi adalah
kata yang dapat menggambarkan situasi media komunikasi massa pada zaman sekarang.
Dengan menempatkan media sebagai industri budaya, menurut Nicholas Garnham
dalam Ibrahim dan Akhmad (2014: 12), kita mengkajinya dari pespektif ekonomi
politik.
Media dipandang sebagai sistem produksi, distribusi, dan konsumsi
bentuk simbolik yang semakin memerlukan mobilisasi sumber daya sosial yang
langka baik material maupun kultural. Sumber daya tersebut dialokasikan dan
digunakan dalam kendala-kendala yang terbentuk dari cara produksi kapitalis di
zaman modern (Ibrahim dan Akhmad, 2014).
Menurut Vincent Mosco dalam
Ibrahim dan Akhmad (2014:17), komodifikasi diartikan sebagai sebuah “proses
mengubah barang dan jasa, termasuk komunikasi, yang dinilai karena kegunaannya,
menjadi komoditas yang dinilai karena apa yang akan mereka berikan di pasar”.
Lebih jelasnya komodifikasi merupakan proses perubahan nilai barang dan jasa
yang semula dinilai karena nilai guna aslinya (misalnya, nilai guna sabun untuk
membersihkan badan, obat menyembuhkan luka) menjadi suatu komoditas yang
bernilai untuk mendatangkan keuntungan di pasar setelah dikemas. Komoditas
adalah suatu bentuk tertentu dari sebuah produk yang diorganisasikan melalui
proses pertukaran (Ibrahim dan Akhmad, 2014).
Cangara memberikan
karakteristik lebih detail mengenai media massa, dan dianggap lebih cocok untuk
menggambarkan media massa yang dimaksud dalam konteks ini. Karakteristik
pertamanya adalah bersifat melembaga (pihak yang mengelola media terdiri
atas banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan, sampai pada
penyajian informasi).
Kedua yakni komunikasi yang dibangun bersifat satu
arah (kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dengan penerima). Ketiga, meluas dan serempak (informasi yang disampaikan diterima oleh
banyak orang pada saat yang sama). Keempat, memakai peralatan teknis atau
mekanis. Dan yang terakhir bersifat terbuka (pesan dapat diterima oleh
siapa saja dan di mana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin, agama, dan suku
bangsa).
Kehidupan di era
modern seperti saat ini membutuhkan mobilitas yang tinggi agar seseorang bisa
mengimbangi cepatnya arus perkembangan, dan informasi merupakan salah satu
komoditi utama yang paling berguna untuk menyokongnya.
Media massa, sebagai
salah satu pihak yang paling sering bersentuhan dengan masyarakat, bertindak
sebagai pembuat dan penyebar makna (meaning) atas suatu peristiwa atau
konflik yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat. Karena pada dasarnya,
setiap society juga memiliki konflik atau peristiwa untuk bisa
disampaikan, baik itu yang sifatnya terbuka ataupun tidak (Morrisan, 2010).
Roland Barthes dikenal
sebagai salah satu pemikir strukturalis yang rajin mempraktikkan model
linguistik Saussurean. Barthes juga merupakan intelektual dan kritikus Perancis
ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada sastra. Barthes
berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang menjelaskan
asumsi-asumsi dari masyarakat tertentu pada waktu tertentu. Barthes mengajukan
pandangan ini dalam Writing Degree Zero (1953) dan Critical Essay (1964)
(Sobur, 2009).
Tujuan analisis ini bukan untuk membangun suatu sistem
klasifikasi unsur narasi yang sangat formal, namun untuk menunjukkan tindakan
yang paling masuk akal. Rincian yang paling meyakinkan atau teka-teki yang
paling menarik merupakan produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata.
Bagi Dahrendorf
(Ritzer dan Goodman, 2014), tugas pertama analisis konflik adalah menganalisis
beragam peran otoritas dalam masyarakat. Dahrendorf menentang mereka yang
bergerak pada level individu. Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat
dikotomis. Hanya dua kelompok konflik terjadi dalam asosiasi manapun. Para
pemegang otoritas dan mereka yang berada di posisi subordinat memiliki
kepentingan yang substansi dan arahnya berlawanan.
Menelaah
Kasus Penolakan Jenazah Virus Corona
Yang dimunculkan dalam video penolakan jenazah virus corona adalah hal
yang sangat jarang dimunculkan oleh media massa. Karena memunculkan figur
masyarakat terkait penyakit yang mewabah di Indonesia ini, dengan sikap seperti
pada video tersebut adalah suatu hal yang sangat jarang sekali muncul, bahkan
menjadi hal unik bagi masyarakat Indonesia.
Wajar saja jika masyarakat
Indonesia terkejut melihat hal tersebut. bahkan tidak hanya respon positif,
tetapi masyarakat Indonesia juga memberikan respon negatif terhadap jenazah
virus corona. Bukan karena penyakit yang akan di tularkan ke masyarakat lain,
melainkan karena aksi yang masyarakat lakukan adalah menggunakan beberapa alat didalam
menutup jalan, serta pohon kayu yang pada kesehariannya kita tidak akan temukan
ditujukan kepada mobil pengantar jenazah. Tetapi media berhasil membuat
tersebut benar-benar nyata, dikarenakan efek dari virus corona.
Sosok mobil jenazah, di dalam benak kita adalah sosok yang tidak akan
dihadang apalagi terkait ingin menguburkan mayat. Tidak mungkin dihalangi.
Tetapi di dalam video tersebut benar, sekumpulan masyarakat menjadi sosok yang
sangat tidak bermasyarakat, ribut dan juga selalu melakukan aksi-aksi yang
tidak terpuji. Semua bentuk di dalam video penolakan jenazah virus corona
adalah sebuah konstruksi media massa. Di dalam video penolakan jenazah virus
corona masyarakat menjadi sosok berbeda didalam menghadang mobil jenazah
terkait virus corona.
Refleksi dan
representasi sosial adalah pembahasan yang sangat luas, untuk memudahkan
penalaran dan memperjelas arah berpikir, pada tulisan ini penulis mengangkat
satu tema yang digunakan sebagai fokus pembahasan. adapun kasus yang diangkat
oleh penulis ialah penyebaran virus corona yang mengakibatkan dunia berduka dan
membuat masyarakat dunia kehilangan nyawa.
Namun, bukan bagaimana virus corona
menyebar, bahkan membuat masyarakat dunia kehilangan nyawa bahkan orang-orang
yang dicintainya, dan bagaimana kronologinya yang menjadi fokus. Melainkan
bagaimana efek yang ditimbulkan blow-up media pada kasus ini terhadap video
yang beredar terkait penilakan jenazah virus corona.
Beberapa konflik terjadi dalam video penolakan jenaah virus corona yang
telah dibahas di atas. Pertama, Konflik pemahaman sempit.
Secara denotatif, masyarakat yang tidak memahami kondisi jenazah terkait virus
corona aman untuk di kebumikan, atau dengan kata lain tidak akan menyebabkan
penularan terhadap masyarakat di sekitarnya. Hal ini diperjelas diakhir dari
video tersebut (Youtube, Kompas).
Kedua, konflik masyarakat terhadap
ketakutan yang secara refleks membangun opini agar melakukan langkah-langkah
diluar batas kemampuan, artinya tidak melihat subjek yang dihalangi, yaitu
mobil jenazah yang pada konteks umum, mobil yang di utamakan saat berada pada
kondisi macet ataupun aksi-aksi di jalanan. Sehingga perioritas hilang pada kondisi
kedua ini.
Ketiga, koflik yang dihasilkan berupa terbangunnya kesadaran
semua masyarakat agar adanya penjelasan, adanya bentuk kesadaran, serta
pengawalan yang benar terhadap jenazah virus corona. Ini juga bisa kita lihat
di video berantai yang kemudian menghasilkan beberapa tokoh, ulama, dokter,
kepala daerah angkat bicara terkait penolakan jenazah virus corona. Di sisi
lain kita temukan polisi mengamankan sejumlah masyarakat yang melakukan aksi
penutupan jalan terkait virus corona. (Youtube, Terkait Penolakan Jenazah
Corona: 2020).
Keempat, konflik menghasillkan pemberitaaan berupaya
mengkhususkan kedua daerah yang dimaksudkan, Gowa (Sulawesi Selatan) dan Jawa
Tengah. Sehingga apabila ada pemberitaan selanjutnya tidak akan seseru dengan
hasil di kedua daerah tersebut, toh kalau pun ada media yang ingin memberitakan
diharap memilih pemberitaannya.
Akhirnya untuk menutup tulisan ini izinkan penulis mengutip sebuah
pendapat yang sekiranya mampu mengajarkan kita terhadap perubahan dunia yang
begitu deras seiring dengan hegemoni media di ruang-ruang keseharian kita.
Jika Martin Heidegger
senang mengutip pendapat pujangga romantis Jerman, Friedrich Holderlin,
“Sesungguhnya manusia mendiami bumi secara puitis”, maka menurut John D.Caputo,
“Hari ini kita mendapat sapuan puitis yang lebih mengagetkan karena berlayar
mengelilingi bumi dengan jaringan cyber".
“Selama Timur diamati dan dibicarakan lewat
suatu optik pengetahuan yang dikembangkan di Barat maka tidak akan ada
pertukaran pengetahuan. Barat akan selalu berada di atas dan Timur berada di
bawah.” (Edward Said, “Orientalism”,
1995).
Daftar Rujukan
Barthes, Roland.
2010. “Imaji, Musik, Teks”. Yogyakarta : Jalasutra.
Cangara, Hafied.
(2010) .Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Rajawali Pers.
Ibrahim, Idi
Subandy, dan Bachruddin Ali Akhmad. (2014). Komunikasi
& Komodifikasi. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
McQuail, Denis.
(1979). The Influence and Effects of Mass Media, New York: Sage
Publication.
-------------------.
(2005) Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, Jakarta: Erlangga.
Morrisan.
(2010). Teori Komunikasi Massa, Bogor: Ghalia Indonesia.
Ritzer, George,
Douglas J. Goodman. (2014). Teori
Sosiologi. Bantul: Kreasi Wacana
Sobur, Alex.
2009. Semiotika Komunikasi. Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya.
Laman Website :
CNN Indonesia, Kami
Hanya Tahu Ada Virus Mematikan dari China,
Diakses dari http://www.cnnindonesia.com pada 09 April 2020
Youtube, Penolakan Jenazah Virus Corona Kompas,
08 April 2020.
Tidak ada komentar