Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Header

Breaking News:

latest

Filsafat Komunikasi Kritik terhadap Peran Media dalam Pembentukan Opini Publik dan Konstruksi Realitas

Penulis: Muh. Yusril (Mahasiswa Komunikasi & Penyiaran Islam, IAIN Parepare) Filsafat komunikasi menyoroti kompleksitas peran media dala...



Penulis: Muh. Yusril (Mahasiswa Komunikasi & Penyiaran Islam, IAIN Parepare)

Filsafat komunikasi menyoroti kompleksitas peran media dalam membentuk opini publik dan konstruksi realitas. Kritik terhadap media sering kali muncul karena adanya potensi bias, sensationalisme, dan manipulasi informasi. Dalam era digital, tantangan semakin besar dengan penyebaran cepatnya informasi yang belum tentu akurat. Oleh karena itu, penting untuk membangun literasi media agar masyarakat mampu menyaring informasi secara kritis dan mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam terkait isu-isu kompleks.

Filsafat komunikasi memberikan sudut pandang yang mendalam terhadap peran media dalam membentuk opini publik dan konstruksi realitas. Dalam era informasi yang semakin berkembang, media memiliki peran sentral dalam membentuk pandangan masyarakat terhadap suatu isu atau peristiwa. Namun, kritik terhadap peran media juga tumbuh seiring dengan kekhawatiran akan bias, sensationalisme, dan manipulasi informasi.

Salah satu kritik utama terhadap media adalah potensi adanya bias dalam penyajian berita. Media sering kali dipandang sebagai pihak yang memiliki kepentingan tertentu, baik itu politik, ekonomi, atau sosial. Dalam konteks ini, teori hegemoni Antonio Gramsci dapat diaplikasikan untuk menjelaskan bagaimana media dapat menjadi alat kontrol kekuasaan yang berkontribusi pada pembentukan opini publik sesuai dengan kepentingan penguasa.

Sensasionalisme juga menjadi fokus kritik terhadap media. Perlakuan media terhadap suatu peristiwa sering kali cenderung dramatis untuk menarik perhatian pembaca atau pemirsa. Akibatnya, realitas yang disajikan oleh media dapat menjadi distorsi dari kejadian sebenarnya. Dalam hal ini, filsuf komunikasi seperti Jean Baudrillard mengemukakan konsep simulakrum, di mana media tidak lagi mencerminkan realitas, tetapi menciptakan realitas baru yang terkadang jauh dari keadaan sebenarnya.

Manipulasi informasi menjadi isu serius dalam konteks pembentukan opini publik. Pengeditan selektif, penekanan tertentu, atau penggunaan gambar yang mengarah pada interpretasi tertentu dapat membentuk narasi yang tidak sepenuhnya objektif. Filsuf seperti Noam Chomsky dan Edward Herman dalam teori "manufacturing consent" menekankan bahwa media cenderung menyampaikan pandangan yang sesuai dengan kepentingan elit dan kekuatan politik yang dominan.

Selain itu, perkembangan teknologi digital dan media sosial telah menghadirkan dinamika baru dalam konstruksi realitas. Informasi dapat tersebar dengan cepat dan tersebar luas, tetapi kebenaran dan validitasnya sering kali dipertanyakan. Munculnya fake news dan hoaks menambah kompleksitas dalam menentukan kebenaran informasi. Filsafat komunikasi menantang kita untuk mengembangkan literasi media yang tinggi, agar masyarakat dapat menyaring informasi dengan bijak dan kritis.

Di tengah kritik terhadap media, penting untuk menyadari bahwa media juga memiliki peran positif dalam menyediakan informasi, mendemokratisasi akses ke pengetahuan, dan memicu dialog sosial. Dalam pandangan Jurgen Habermas, ruang publik adalah tempat di mana masyarakat dapat berpartisipasi dalam diskusi yang rasional dan mendukung demokrasi. Media, dalam konteks ini, dapat menjadi medium yang memfasilitasi terbentuknya ruang publik ini.

Untuk mengatasi kritik terhadap peran media, diperlukan upaya kolaboratif antara media, pemerintah, dan masyarakat. Media harus bertanggung jawab dalam menyajikan informasi secara objektif, menghindari sensationalisme yang berlebihan, dan mengakui potensi bias yang mungkin ada. Pemerintah juga memiliki peran dalam memberikan regulasi yang mendukung kebebasan pers, namun sekaligus menjaga agar media tidak menyalahgunakan kebebasan itu.

Selain itu, literasi media harus menjadi fokus dalam pendidikan masyarakat. Kemampuan untuk mengenali sumber informasi yang kredibel, memahami konteks berita, dan mengembangkan pemikiran kritis merupakan keterampilan penting di era informasi ini. Dengan literasi media yang tinggi, masyarakat dapat lebih mandiri dalam membentuk opini publiknya dan lebih kritis terhadap informasi yang diterimanya.

Dalam menghadapi tantangan konstruksi realitas oleh media, filsafat komunikasi mengajarkan bahwa kita perlu mempertanyakan narasi yang disajikan oleh media. Pengembangan kemampuan untuk melihat di balik berita dan mencari fakta yang mendukung atau menentang suatu narasi merupakan langkah awal untuk memahami realitas yang lebih utuh.

Secara keseluruhan, kritik terhadap peran media dalam pembentukan opini publik dan konstruksi realitas mengajukan pertanyaan yang krusial dalam perkembangan masyarakat modern. Filsafat komunikasi menjadi alat untuk memahami kompleksitas ini dan merumuskan pendekatan yang lebih bijak dalam mengonsumsi informasi. Dengan mengakui kelemahan media, memperkuat literasi media, dan mendorong transparansi, masyarakat dapat bersama-sama membentuk media yang lebih bertanggung jawab dan menjadi pilar utama dalam membangun pemahaman kolektif terhadap realitas yang kompleks.

Tidak ada komentar